Jumat, 15 April 2011

PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN RI MENURUT UUD 1945 (SETELAH PERUBAHAN UUD)


Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 banyak merubah sistem hukum Indonesia, yang juga mempengaruhi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya ketentuan penting yang lahir dari perubahan tersebut yakni mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya kesepakatan untuk mempertahankan sistem presidesial dengan menyempurnakan ciri-ciri sistem presidensial. Selain itu, adanya pengaturan tersebut juga dilatarbelakangi adanya pemikiran bahwa negara yang identik dengan kekuasaan perlu adanya pembatasan kekuasaan dan adanya fungsi pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan kekuasaan.
Mengapa pemilihan presiden langsung ?    Tentunya dengan pemilihan presiden langsung, agar Menuju Terciptanya Demokrasi Partisipatoris di Indonesia  Perkembangan ke arah sistim demokrasi partisipatoris muncul di sebagian besar negara-negara yang telah mengalami transisi politis ke arah pemerintahan yang lebih demokratis.  Hal ini tampak misalnya di negara-negara Eropa Timur, bahkan di negara tetangga kita seperti di Thailand dan Filipina. Tumbuhnya perkembangan ke arah demokrasi partisipatoris adalah hasil upaya rakyat untuk menciptakan sistim pengawasan yang lebih efektif terhadap penyalahgunaan mandat rakyat oleh politisi, baik pejabat pemerintah maupun anggota parlemen.   Di Thailand dan Filipina, perkembangan ke arah demokrasi partisipatoris semakin diperkuat dengan berkembangnya masyarakat madani setelah tumbangnya rezim otoriter di kedua negara tersebut.  Perlu ditekankan bahwa tumbuhnya demokrasi partisipatoris bukanlah untuk menggantikan demokrasi perwakilan, melainkan untuk memperkukuh demokrasi perwakilan dan membuatnya semakin efektif dalam mencerminkan kehendak rakyat. 
Mekanisme pemilihan langsung baik di tingkat lokal maupun nasional untuk lembaga eksekutif maupun legislatif, merupakan salah satu komponen penting dari bentuk demokrasi partisipatoris.  Dengan menerapkan sistim pemilihan langsung, rakyat diharapkan akan dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang aktif berpartisipasi dalam menentukan agenda pembangunan negara dan bukan hanya sebagai obyek dari pembangunan itu sendiri. 
Kelebihan Pemilihan Presiden Langsung :
Pertama Pemilihan Presiden langsung diharapkan akan mengurangi distorsi-distorsi yang dimasalah-masalah yang dihadapi pada Pemilihan Presiden yang dilakukan oleh MPR.  Beberapa kelebihan dari sistim ini ialah :  Presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat yang memberikan suaranya secara langsung. Legitimasi, merupakan hal yang sangat diperlukan oleh suatu pemerintahan yang sedang mengalami krisis politik dan ekonomi. Seperti kita ketahui, krisis legitimasi yang telah menggerogoti negara kita telah mengakibatkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang berkepanjangan. 
Kedua Presiden terpilih tidak perlu terikat pada konsesi pada partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya. Artinya, Presiden terpilih berada di atas segala kepentingan dan dapat menjembatani berbagai kepentingan tersebut.  Apabila Presiden terpilih tidak dapat mengatasi kepentingan-kepentingan parpol, maka kabinet yang dibentuk cenderung merupakan kabinet koalisi parpol dan bukan kabinet kerja.  Padahal pada masa krisis ekonomi seperti sekarang ini, yang kita perlukan adalah kabinet kerja.  Ketiga Sistim ini menjadi lebih accountable dibandingkan sistim yang sekarang digunakan karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya melalui MPR yang tidak seluruhnya merupakan anggota terpilih hasil Pemilu. Rakyat dapat menentukan pilihannya berdasarkan kriteria yang jelas dan transparan. Apabila  Presiden yang terpilih ternyata kemudian tidak memenuhi harapan rakyat, maka pada pemilihan berikutnya, kandidat yang bersangkutan tidak akan dipilih kembali. Prinsip ini merupakan prinsip pengawasan serta akuntabilitas yang paling sederhana dan dapat dimengerti baik oleh rakyat maupun politisi. 
Keempat Checks and Balances antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dapat lebih seimbang karena di masa yang akan datang,  anggota lembaga legislatif juga akan dipilih langsung dan yang kelima  Kriteria calon Presiden juga dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun. Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket pasangan melalui pemilihan umum yang diadakan pada setiap lima tahun sekali, pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menyatakan “presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Di luar jadwal ketatanegaraan resmi seperti di maksud oleh pasal 7 UUD 1945, hanya dapat diadakan pemilihan secara tidak langsung. Oleh karena itu, apabila terdapat lowongan dalam jabatan presiden dan wakil presiden berhenti atau diberhentikan di tengah masa jabatan, maka penggantinya di pilih oleh MPR. Dengan demikian, presiden dan wakil presiden dapat dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum atau dipilih secara tidak langsung oleh MPR.
            Dapat pula terjadi keadaan bahwa bagaimana apabila terdapat lowongan jabatan wakil presiden. Hal itu dapat terjadi karena wakil presiden yang sedang menjabat tidak dapat melanjutkan tugasnya yang disebabkan dua kemungkinan. Pertama, karena yang bersangkutan diberhentikan, mengundurkan diri, karena sakit, atau karena meninggal dunia. Kedua, karena wakil presiden harus menggantikan presiden yang diberhentikan, mengundurkan diri, sakit, atau meninggal dunia dalam jabatannya, sehingga kedudukan wakil presiden menjadi lowong karenanya. Dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden seperti dimaksud, maka selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari MPR mengadakan siding untuk memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh presiden.
Dalam sistem pemerintahan presidentil, wakil presiden adalah posisi yang harus selalu melekat dengan adanya presiden. Inilah yang membedakan antara wakil presiden sebagai pembantu presiden dengan menteri sebagai pembantu presiden. Menteri tidak dapat mengantikan presiden secara otomatis tetapi wakil presiden karena posisi dan kedudukannya dapat menggantikan presiden yang berhalangan tetap. Oleh karena itu, posisi Wapres harus diisi untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan timbul yang menjadikan Presiden berhalangan tetap.
Kalau dicermati secara mendalam hukum positif tentang pengisian jabatan wakil presiden, paling tidak ada tiga ketentuan yang mengisyaratkan bahwa jabatan ini tidak boleh dibiarkan kosong. Pertama, Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan bahwa dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden. Ketentuan ini tidak memberikan keterangan lebih lanjut apakah kewajiban ini hanya untuk presiden yang baru terpilih atau juga berlaku kepada wakil presiden yang menggantikan posisi presiden. Ini terkait dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis waktunya. Kedua, Pasal 50 ayat (3) huruf c Tap MPR No. II/ MPR/ 2000 tentang Peraturan Tata Tertib MPR yang menyatakan bahwa MPR dapat mengadakan Sidang Istimewa untuk mengisi jabatan presiden dan/ atau wakil presiden yang berhalangan tetap. Ketiga, Pasal 98 ayat (5) Tap MPR No. II/ MPR/ 2000 secara tegas mengamanatkan bahwa apabila MPR mengadakan SI untuk memberhentikan presiden maka terhadap wakil presiden berlaku ketentuan (a) MPR menetapkan wakil presiden sebagai presiden sampai habis sisa masa jabatannya, (b) MPR memilih dan mengangkat wakil presiden baru sampai habis sisa masa jabatannya. Ketiga ketentuan di atas sudah memberikan keterangan yang sangat jelas bahwa pengisian jabatan Wapres adalah merupakan keharusan dalam proses penyelenggaraan negara.
Dalam peraturan rancangan Tata Tertib MPR yang disahkan pada Sidang Paripurna, diatur secara khusus aturan mengenai tata cara pemilihan dan pelantikan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden.
Aturan tersebut termaktub dalam Bab XIX. Berikut adalah aturan lengkapnya:
Bab XIX Tata Cara Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden Dalam Hal Terjadi Kekosongan Jabatan Wakil Presiden
Pasal 112
1. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna MPR dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden.

2. Waktu penyelenggaraan Sidang Paripurna MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan di dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR, pimpinan Fraksi-fraksi dan Pimpinan Kelompok Anggota.
3. Rapat gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden.
4. Pimpinan MPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Presiden tentang hasil putusan Rapat Gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah Rapat Gabungan dilaksanakan.
5. Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampirkan dengan syarat-syarat yang harus dilengkapi oleh calon Wakil Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6. Presiden mengusulkan 2 (dua) calon Wakil Presiden beserta kelengkapan syarat-syarat kepada Pimpinan MPR, paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum penyelenggaraan Sidang Paripurna MPR.
7. Paling lambat 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam sebelum batas waktu 14 (empat belas) hari bagi Presiden menyerahkan usul 2 (dua) calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (6), MPR menyelenggarakan Rapat Gabungan Pimpinan MPR, Pimpinan fraksi-fraksi dan Kelompok Anggota untuk membentuk Tim Verifikasi.
8. Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) bertugas melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan 2 (dua) calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
9. Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) : a. Terdiri atas sebanyak-banyaknya 5 persen dari anggota yang susunannya mencerminkan fraksi dan Kelompok Anggota secara proporsional ; b. Keanggotaannya ditetapkan dengan Keputusan Pimpinan MPR ; c. Masa kerjanya paling lama 7 (tujuh) hari sejak Presiden menyerahkan kelengkapan syarat-syarat bakal calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ; d. Dapat membentuk tim ahli; dan e. Melaporkan hasil kerjanya kepada Pimpinan MPR.
10. Dalam hal laporan hasil kerja Tim Verifikasi menyatakan bahwa syarat-syarat dari salah satu atau 2 (dua) calon Wakil Presiden yang diusulkan Presiden belum lengkap, Pimpinan MPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Presiden untuk memperbaiki dan/atau melengkapi dalam waktu paling lambat 4 (empat) hari sebelum Sidang Paripurna MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan.
11. Dalam hal syarat-syarat masih dinyatakan belum lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (10) maka Pimpinan DPR dapat memperpanjang masa kerja Tim Verifikasi sampai dengan 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan.
12. Dalam hal syarat-syarat masih dinyatakan belum lengkap setelah masa kerja Tim Verifikasi diperpanjang sebagaimana dimaksud pada ayat (11) maka Pimpinan mengundang Rapat Gabungan untuk menunda penyelenggaraan Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
13. Penundaan penyelenggaraan Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (12) tidak melebihi batas waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
14. Pimpinan MPR menetapkan 2 (dua) calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi Calon Wakil Presiden yang telah memenuhi persyaratan untuk dipilih berdasarkan laporan hasil kerja Tim Verifikasi.
15. 2 (dua) calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (14) wajib menyampaikan pernyataan kesiapan pencalonan dalam sidang Paripurna MPR sebelum dilakukan pemilihan.
16. Calon Wakil Presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan di Sidang Paripurna MPR ditetapkan sebagai Wakil Presiden.
17. Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama banyak, pemilihan diulang untuk 1 (satu) kali lagi.
18. Dalam hal pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (17) hasilnya tetap sama, Presiden memilih salah satu diantara calon Wakil Presiden.
Pasal 113
Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam pasal 112 ayat (16) atau ayat (18) ditetapkan dengan Ketetapan MPR.
Pasal 114
1. MPR melantik Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam padal 112 ayat (16) atau ayat (18) dalam Sidang Paripurna dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Sidang Paripurna MPR.
2. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Sidang Paripurna DPR.
3. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Pimpinan MPR dengan disaksikan oleh Pimpinan MA.
4. Berita Acara Pelantikan ditandatangani oleh Wakil Presiden dan Pimpinan MPR atau Pimpinan DPR.
            Jika presiden dan wakil presiden berhenti, atau diberhentikan, atau karena tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, maka pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari dari dua pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai dengan berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden yang gantikan.
            Presiden dan wakil presiden yang terpilih, baik secara langsung melalui pemilu ataupun secara tidak langsung melalui MPR, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden, seperti di tentukan dalam pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945. jadi perubahan ketiga UUD RI tahun 1945 menetapkan bahwa sanya presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat ( pasal 6A UUD NRI tahun 1945). Pasal 7 UUD NRI tahun 1945 menegaskan bahwasanya presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
            Presiden tidak dapat di jatuhkan dalam masa jabatannya, kecuali DPR mengusul kepada MPR baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hokum berupa penghianatan terhapa Negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden seperti yang terdapat pada pasal 7A “presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh majlis permusyawaratan rakyat atas usul dewan perwakilan rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hokum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebaagai presiden dan/atau wakil presiden”.
            Apabila DPR berpendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden (dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR), DPR dapat mengajukan permintaan kepada mahkamah konstitusi, jika mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota.
            Hal demikian itu yang kita sebut atau istilahkan Impeachment, Konsep Impeachment lahir di zaman Mesir kuno dengan istilah ieasangelia,yang pada abad ke-17 diadopsi pemerintahan Inggris dan dimasukkan kedalam konstitusi Amerika Serikat di akhir abad ke- 18. secara konsep, impeachment tidak hanya berarti prosedur pemberhentian presiden di tengah masa jabatanya, tetapi juga pemecatan bagi para pejabat tinggi negara lainnya termasuk hakim agung karena melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum.
Sistem tata negara Inggris  memungkinkkan impeachment dapat diterapkan oleh House of Commons kepada siapa saja baik akibat kasus kriminal ataupun pelanggaran konstitusi, apakah si tertuduh itu bangsawan atau rakyat jelata. Sistem di Inggris menerapkan sanksi pidana dengan pelaksanaan impeachment, sedangkakn sistem impeachment di Amerika Serikat lebih cenderung memperbaiki atau mengobati terhadap fungsi yang ada (remedial in functions). Agar tidak mudah di-impeach, lembaga kepresidenan diperkuat dengan pengaturan yang tegas dalam amandemen UUD 1945 Pasal 7A yang menyatakan “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Oleh karena itu menjaga keseimbangan hubungan dengan parlemen (DPR, DPD, dan MPR), adalah mutlak dilakukan agar harmonisasi hubungan bernegara dalam menjaga efektifitas kerja pemerintahan dalam tata kelola negara berjalan dengan baik. Sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana diatur dalam UUD 1945, menempatkan hubungan antara presiden dengan parlemen dalam posisi yang setara. Presiden tidak bisa menjatuhkan DPR, demikian sebaliknya. Karena presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen, tetapi bertanggung jawab kepada rakyat, melalui mekanisme pergantian masa jabatan yang tetap selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk lima tahun berikutnya dalam dua kali masa jabatan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama, yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Dengan demikian, kedudukan pesiden adalah kuat dan dilindungi oleh konstitusi. Sekalipun demikian, presiden adalah manusia, sehingga dalam dirinya tidak akan pernah lepas dari salah atau alpa.
Prosedur (Acara)
Sebagaimana di dalam UUD 1945 pasal 7A dan 7B disebutkan:
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam siding paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan  Seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Peran Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus paling lama 90 hari setelah permintaan diterima. Jika terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR paling lambat 30 hari sejak usul diterima. Keputusan diambil dalam sidang paripurna, dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 jumlah anggota, disetujui sekurang-kurangnya 2/3 jumlah yang hadir, setelah Presiden/Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan. Apabila usul presiden diterima, Presiden/Wakil Presiden kemudian diberhentikan.
Pemberhentian presidendan / atau wakil presiden dimaksud merupakan kewenangan konstitusional MPR atas usul DPR. DPR adalah impicher, mempersiapkan data bukti secara cermat. Tentu saja, DPR perlu mempersiapkan tim investigasi yang sebelum mengajukan pendapatnya berkenaan hal pelanggaran hukum dan atau perbuatan tercela yang dilakukan oleh presiden dan atau wakil presiden.
Dalam pada, ketua mahkamah konstitusi dalam suratnya tertanggal 15 juni 2004 nomor 94-95/MK.KA/VI/2004 kepada ketua MPR, ketua DPR dan pimpinan DPD (sekertaris jendral MPR) memberikan saran guna perubahan peraturan tata tertib DPR dan MPR, antara lain dengan mengantisipasi penjabaran prosedur dan tata cara pemberhentian presiden dan wakil presiden dalam peraturan tata tertib masing-masing, termasuk peraturan tata tertib DPD.
Ketua mahkamah konstitusi memandang bahwa secara menyeluruh, mekanisme imphicment memerlukan undang-undang tersendiri. Undang-undang tersebut bias saja dinamakan undang-undang tentang pemberhentian kepala pemerintahan. Pasal 7B ayat (1) UUD NRI tahun 1945 menegaskan bahwa usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hokum, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden (pasal 7B ayat 91) UUD NRI tahun 1945.
Putusan yang diminta DPR kepada mahkamah konstitusi adalah putusan hokum dan bukan putusan politik. Berbeda halnya dengan putusan mahkamah konstitusi maka putusan MPR yang berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden adalah putusan politik, hanya MPR yang memiliki kewenangan konstitusional guna memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya (pasal 7B Ayat (6), (7) UUD NRI tahun 1945).
Keputusan MPR yang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatan dimaksud merupakan putusan politik, bukan putusan peradilan, pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya adalah kewenangan konstitusional MPR, bukan kewenangan peradilan. Walaupun telah jatuh putusan mahkamah konstitusi yang menyatakan bahwa sanya pendapat DPR tentang pelanggaran hokum oleh presiden dan/atau wakil presiden telah terbukti, namun MPR dapat menjatuhkan putusan lain sepanjang pertimbangan politik dalam rapat paripurna MPR menerima baik penjelasan yang dikemukakan presiden dan/atau wakil presiden sehingga rapat memandang presiden dan/atau wakil presiden tidak perlu diberhentikan.
Rapat paripurna MPR terlebih dahulu memberi kesempatan kepada presiden dan/atau wakil presiden menyampaikan penjelasan sebelum rapat paripurna menjatuhkan putusan, penjelasan sebagaimana dimaksud pasal konstitusi tersebut pada hakikatnya merupakan upaya pembelaan diri bagi presiden dan/atau wakil presiden. Tidak berarti putusan MPR menyampingkan putusan mahkamah konstitusi, tetapi hal pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya itu memang merupakan kewenangan dari MPR.

Kesimpulan
Prosedur pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden menurut pasal 7A dan 7B UUD NRI tahun 1945 merupakan prosedur konstitusi, konstitusi harus ditegakkan secara tidak kepalang tanggung. Tentunya kita berharap bahwa tidak bakal ada presiden dan/atau wakil presiden yang diberhentikan secara tidak normal di negri ini. Lagu pula, para anggota dewan seyogyanya mengantarkan rakyat banyak pada pemerintahan yang stabil, harmonis serta konstitusional. Para anggota dewan adalah pula negarawan. Manuel queson, politikus ulung dari parlemen philipina, pernah berkata “kesetiaan saya terhadap partai berakhir tatkala dimulai kesetiaan saya terhadap Negara”.




PENGANTAR NEGARA HUKUM

Negara Republik Indonesia sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa ” Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum ” ini adalah legal standing dari konsep Negara hukum di Indonesia. Dengan dasar itu maka memberikan legitimasi dalam ketatanegaraan Indonesia dalam penegakan supremasi hukum di Indonesia yang notabene masih belum adanya keseimbangan antara das sollen dan das sein, Pasal 1 ayat 3 itu adopsi dari penjelasan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat), bukan Negara kekuasaan (machtstaat) Pernyataan demikian maksudnya untuk menunjukkan bicara tentang Negara hukum adalah bicara tentang konsep politis.
Pada konteks kemerdekaan, Negara hukum dijadikan sebagai ertentangan/antitesa terhadap Negara kolonial yang di anggap machtstaat. Dalam konteks penegakan hak azazi manusia juga di regulasi menurut konsep Negara Hukum ini, adanya peradilan HAM yang berperan dalam penegakan hak-hak dasar manusia, banyaknya regulasi-regulasi yang di adopsi yang berasal dari luar Indonesia menjadi payung hukum dalam penegakan HAM di Indonesia. Amandemen UUD 1945 juga mengadopsi prinsip penegakan HAM, hal ini di buktikan dengan perubahan pasal 28A -28J yang lebih detail mengatur tentang hak-hak dasar manusia, mulai dari hak untuk hidup, berkeluarga, berpendapat, sampai hak berpolitik.Ini menandai bahwa pasca amandemen, konsep Negara hukum di Indonesia semakin baik di bandingkan sebelum amandemen, walau ini hanya secara teori belaka.
Peradilan yang bersih dan jauh dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme juga merupakan ciri dasar dalam konteks Negara Hukum.Mafia peradilan yang mencoreng nama peradilan di Indonesia harus benar-benar di berantas sampai ke akar-akarnya, karena bila ini terus ada maka akan mengotori konsep Negara Hukum yang selama ini kita bangun dengan susah payah. betapa bobroknya moral aparat peradilan kita yang lebih mengutamakan kepentingan sesaat dari pada prinsip Negara hukum yang selama ini di agung-agungkan bangsa ini, dalam tataran peradilan umum saja sudah banyak di temukan keganjilan dalam penegakan Hukum, dimana aparatur peradilan yang bermoral bejat yang memarjinalkan masyarakat yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum (equality before the law).

HUBUNGAN ANTARA ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM DENGAN PANCASILA SEBAGAI GRONDNORM

ALIRAN HUKUM ALAM  
Sejak 2500 tahun yang lalu sering sekali muncul pertanyaan mengenai “Apakah Natural Law (Hukum Alam) itu? Secara umum yang dimaksud dengan aliran Hukum Alam dalam ajaran ini adalah hukum yang berlaku universal dan abadi. Melihat sumbernya, Hukum Alam ini ada yang bersumber dari Tuhan (irasional) dan ada yang bersumber dari akal (rasio).
Hukum Alam itu sebenarnya bukan merupakan satu jenis hukum, tetapi penamaan seragam untuk banyak ide yang dikelompokkan menjadi satu nama yaitu Hukum alam. Salah satu pemikiran Hukum Alam yang khas adalah tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan nilai moral.
Pada umumnya penganut aliran Hukum Alam mamandang hukum dan moral sebagai pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia dan hubungan sesama manusia. Didalam aliran Hukum Alam ini terdapat suatu pembedaan-pembedaan, yaitu Hukum Alam sebagai metode adalah yang tertua yang dapat dikenali sejak zaman yang kuno sekali sampai pada permulaan abad pertengahan. Hukum ini memusatkan perhatiannya pada usaha untuk menemukan metode yang bisa digunakan untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk mengatasi keadaan yang berlain-lainan.
Hukum Alam sebagai substansi atau isi berisikan norma-norma. Peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas yang mutlak yang lazim dikenali dengan peraturan hak azasi manusia. Ciri Hukum Alam seperti ini merupakan ciri dari abad ke 17 dan ke 18 untuk kemudian pada abad berikutnya digantikan oleh positivisme hukum.
Positivisme hukum sendiri ternyata kemudian tidak mampu untuk mengikuti rasa keadilan yang tumbuh didalam masyarakat karena hukum yang sifatnya tertulis tidak dapat berubah-ubah setiap saat. Rasa keadilan yang tercermin dalam suatu kitab undang-undang misalnya, mungkn hanya selaras dengan keadilan dalam masyarakat pada waktu di berlakukannya kitab undang-undang itu. Mayarakat yang terus berubah membawa serta perubahan pada keadilan yang hidup pada masyarakat itu. Karena dirasakan ketentuan yang ada tidak atau kurang mencerminkan rasa keadilan yang dikehendaki, maka orang berusaha mencari keadilan yang dikehendaki, maka orang berusaha mencari keadilan lain, dan ini berarti orang berpegang kembali pada ajaran Hukum Alam. Inilah yang disebut masa kebangkitan kembali hukum alam.
Dalam memahami ajaran Hukum Alam maka terlebih dahulu harus dibedakan antara pemikiran Hukum Alam yang tumbuh di Yunani dan pemikiran Hukum Alam yang tumbuh di Romawi. Dan yang perlu diketahui adalah bahwa tidak ada teori yang tunggal tentang Hukum Alam, masing-masing filsuf yang menganut ajaran ini cenderung mempunyai pandangan khas masing-masing.
Perbedaan pokok antara pemikiran Yunani dan pemikiran Romawi tentang Hukum lebih bersifat teroitis dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih menitikberatkan pada hal-hal yang praktis dan dikaitkan pada hukum positif.
Perkembangan ajaran Hukum Alam tidak terlepas dari pendapat para tokoh dan pakar Hukum Alam, yang menjadi pelopor sekaligus melakukan pengembangan ajaran Hukum Alam itu sendiri. Adapun tokoh dan pakar itu menurut zamannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Tokoh-tokoh Hukum Alam Yunani antara lain: socrates, plato, Aristotle
2.      Tokoh-tokoh Hukum Alam Romawi antara lain:Cicero, Gaius
3.      Tokoh-tokoh Hukum Alam di abad pertengahan antara lain: Auguste, Isidor, Thomas Aguinas dan Wiliam Occam
4.      Tokoh-tokoh Hukum Alam di abad ke enam belas sampai ke delapan belas antara lain :Bodin, Grotius, Thomas Hobbes, Spinoza, John Lock, Montesquieu dan  JJ Rousseau
5.      Tokoh-tokoh idealisme transedental antara lain: Imanuel Kant dan Hegel.
6.      Tokoh-tokoh kebangkitan kembali Hukum Alam antara lain : Kohler, Stamler,Leon Duguit,Gustav Radbruch, Del Vecchio
Walaupun pengungkapan mengenai hukum alam terus berlanjut namun sampai saat ini bukanlah merupakan suatu konsep yang tunggal, tetap dan statis. Hukum Alam telah memiliki banyak pengertian  yang berbeda-beda  dan telah digunakan pada berbagai kegunaan yang berbeda pula tergantung pada kebutuhan dan tujuannya. Banyak dokrtin/ajaran yang berbeda-beda mengenai Hukum Alam yang diungkapan oleh para tokoh/ahli yang hidup di zaman yang berbeda-beda, dan cenderung mempunyai pandangan khas masing-masing mengenai hukum alam  dari sudut pandangnya masing-masing, namun pada intinya pemikiran Hukum Alam yang khas adalah tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan moral ( nilai-nilai moral, keadilan).
Asumsi dasar/ideologi aliran Hukum alam adalah:
Hukum positif tergantung/berdasarkan tertib yang lebih tinggi/supranatural, yaitu dipengaruhi oleh:
1.      Pengaruh ajaran Tuhan;
2.      Alasan yang suci;
3.   Kodrat manusia (misalnya pikiran manusia dimanapun, kapanpun adalah sama).
Jadi hukum dimana saja, kapan saja, bagi siapa saja berlaku sama (universal).
Penguasa yang tidak mensejahterakan warganya dianggap tidak adil dan dianggap tidak mencerminkan hukum yang baik. Hukum dipengaruhi/tidak terpisah dari moral (sebagai landasan dari keadilan). Hukum Kodrat dipengaruhi juga oleh ajaran Filsafat, Etika dan Agama.
Prinsip Hukum Kodrat: Hukum Positif berlaku berdasarkan (perwujudan dari) suatu sistem/tertib yang lebih tinggi yang ditetapkan oleh Tuhan/Dewa, alasan yang suci dan sifat-sifat kondrat manusia. Pandangan tentang hukum yang dianut oleh mazhab Hukum Kodrat berjalan sangat panjang dan penuh dengan perubahan-perubahan (sejak zaman Yunani Kuno sampai dengan sekarang), mazhab hukum Kodrat mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan dalam hubungannya dengan pandangan agama/ideologi politik, bentuk negara/pemerintahan, budaya dan hukum.
Pada dasarnya Hukum alam yaitu hukum yang bersumber dari tuhan yang nilai-nilai ajarannya diturunkan kepada agama, dan  nilai-nilai agama yang baik seperti nilai-nilai etika/moral, keadilan, kejujuran, kemanusiaan yang diturunkan oleh tuhan yang menjadi nilai-nilai agama tersebut supaya dilaksanakan/diterapkan oleh para penguasa demi untuk memberikan kedamaian, kesejahteraan dan keadilan kepada manusia, Jadi hukum yang baik itu adalah hukum yang tidak memisahkan dengan nilai moral. Timbul pertanyaan. Apa sebenarnya nilai tersebut ?
PENGERTIAN NILAI
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Adanya dua macam nilai tersebut sejalan dengan penegasan pancasila sebagai ideologi terbuka. Perumusan pancasila di dalam pembukaan UUD 1945. Alinea keempat dinyatakan sebagai nilai dasar dan penjabarannya sebagai nilai instrumental.
PANCASILA SEBAGAI SUMBER NILAI
Diterimanya pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional membawa
konsekuensi logis bahwa nilai-nilai pancasila dijadikan landasan pokok, landasan
fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar dari pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpinoleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilansosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan pernyataan secara singkat bahwanilai dasar Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilaipersatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
GRUNDNORM
            Sangat penting untuk kita menyinggung sedikit tentang teori dari Hans Kelsen tentang teorinya “grundnorm”, agar kita mengerti dengan jelas posisi pancasila sebagai sumber nilai. Jadi grundnorm itu bukanlah norma hokum akan tetapi suatu norma pikiran yang menjadi sumber nilai atau sumber inspirasi dalam merumuskan suatu hokum. Menurut Hamid attamimi dalam disertasinya mengilustrasikan pemahamannya bahwa, suatu norma dibentuk oleh norma yang lebih tinggi, kemudian norma itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian hal itu seterusnya sampai berhenti pada norma tertinggi yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi dan keberadaannya ditetapkan oleh masyarakat atau rakyat sendiri secara terlebih dahulu.
MAKNA NILAI DALAM PANCASILA
a. Nilai Ketuhanan
Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinanbangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai inimenyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yangateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untukmemeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidakberlaku diskriminatif antarumat beragama.
b. Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan
perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutanhati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.
c. Nilai Persatuan
Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatanrakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap
keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia..
d. Nilai Kerakyatan
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, olehrakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembagaperwakilan.
e. Nilai Keadilan
Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai
dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan
Makmur secara lahiriah atauun batiniah.
Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan
normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional
dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai
instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan
bersumber pada kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai
instrumental penyelenggaraan negara Indonesia.
Nilai Pancasila menjadi Sumber Norma Hukum
Upaya mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai adalah dijadikannya nilai nilaidasar menjadi sumber bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Operasionalisasidari nilai dasar pancasila itu adalah dijadikannya pancasila sebagai norma dasar bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Negara Indonesia memiliki hokum nasional yang merupakan satu kesatuan sistem hukum. Sistem hukum Indonesia itubersumber dan berdasar pada pancasila sebagai norma dasar bernegara. Pancasilaberkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar) atau staatfundamentalnorm (normafondamental negara) dalam jenjang norma hukum di Indonesia.
Nilai-nilai pancasila selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangam yang ada. Perundang-undangan, ketetapan, keputusan, kebijaksanaan pemerintah, program-program pembangunan, dan peraturan-peraturan lain padahakikatnya merupakan nilai instrumental sebagai penjabaran dari nilai-nilaidasar pancasila.
NILAI PANCASILA MENJADI SUMBER NORMA ETIK
Pancasila adalah sebagai dasar negara Indonesia, memegang peranan penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila banyak memegang peranan yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, salah satunya adalah “Pancasila sebagai suatu sistem etika”.Di dunia internasional bangsa Indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki etika yang baik, rakyatnya yang ramah tamah, sopan santun yang dijunjung tinggi dan banyak lagi, dan pancasila memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa ini sehingga bangsa ini dapat dihargai sebagai salah satu bangsa yang beradab didunia.
Kecenderungan menganggap acuh dan sepele akan kehadiran pancasila diharapkan dapat ditinggalkan. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab. Pembentukan etika bukan hal yang susah dan bukan hal yang gampang, karena berasal dari tingkah laku dan hati nurani. Semoga rangkuman ini dapat membuka pikiran akan pentingnya arti sebuah pancasila bagi kehidupan bangsa ini.
Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagai cabang falsafah ia membahas sistem-sistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Sebagai cabang ilmu ia membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu. Etika sebagai ilmu dibagi dua, yaitu etika umum dan etika khusus.
Etika umum membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Dalam falsafah Barat dan Timur, seperti di Cina dan , seperti dalam Islam, aliran-aliran pemikiran etika beranekaragam. Tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta sistem nilai apa yang terkandung di dalamnya. Etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial.
Etika indvidual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan tanggungjawabnya terhadap Tuhannya.
Etika sosial di lain hal membahas kewajiban serta norma-norma sosial yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara. Etika sosial meliputi cabang-cabang etika yang lebih khusus lagi seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, etika seksual dan etika politik. Etika politik sebagai cabang dari etika sosial dengan demikian membahas kewajiban dan norma-norma dalam kehidupan politik, yaitu bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan ( yang menganut sistem politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi.Dan pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini.
Disetiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila ke dua “ kemanusian yang adil dan beradab” tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar, Setiap sila pada dasarnya merupakan azas dan fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematik. Pancasila adalah suatu kesatuan yang majemuk tunggal, setiap sila tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sila lainnya, diantara sila satu dan lainnya tidak saling bertentangan.Inti dan isi Pancasila adalah manusia monopluralis yang memiliki unsur-unsur susunan kodrat (jasmani –rohani), sifat kodrat (individu-makhluk sosial), kedudukan kodrat sebagai pribadi berdiri sendiri, yaitu makhluk Tuhan Yang Maha Esa.Unsur-unsur hakekat manusia merupakan suatu kesatuan yang bersifat organis dan harmonis, dan setiap unsur memiliki fungsi masing-masing namun saling berhubungan.

KESIMPULAN
Aliran hokum alam itu tidak memisahkan antara nilai-nilai yang baik yang bersumber dari tuhan seperti moral, keadilan, kebersamaan. Dan nilai-nilai tersebut sudah ada dalam pancasila, olehnya itu dalam merumuskan suatu hokum pancasila adalah sumber, jadi nilai-nilai dalam hokum itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam pancasila.
 Upaya mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai adalah dijadikannya nilai nilai dasar menjadi sumber bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Operasionalisasi dari nilai dasar pancasila itu adalah dijadikannya pancasila sebagai norma dasar bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Negara Indonesia memiliki hukum nasional yang merupakan satu kesatuan sistem hukum. Sistem hukum Indonesia itu bersumber dan berdasar pada pancasila sebagai norma dasar bernegara. Pancasila berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar) atau staatfundamentalnorm (norma fondamental negara) dalam jenjang norma hukum di Indonesia.
Nilai-nilai pancasila selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangam yang ada. Perundang-undangan, ketetapan, keputusan, kebijaksanaan pemerintah, program-program pembangunan, dan peraturan-peraturan lain pada hakikatnya merupakan nilai instrumental sebagai penjabaran dari nilai-nilai dasar pancasila.